Bangun Kesiangan, Bolehkah Mengqadha Shalat Subuh?

Ilustrasi (Klinik Fotografi Kompas)
Ilustrasi (Klinik Fotografi Kompas)
Pertanyaan:
dakwatuna.com – Assalamualaikum, Ustadz saya ingin bertanya tentang Shalat Subuh. Di saat saya terlambat Shalat Subuh dan bangun di waktu Dhuha, bolehkah saya Shalat Subuh di waktu Dhuha tersebut dengan cara mengqadha’ Shalat Subuh saya? Dan bagaimana jika ternyata bangun di waktu Zhuhur, apa yang harus saya lakukan terkait Shalat Subuh saya yang tertinggal, sedangkan saya sebenarnya tidak ingin meninggalkannya. Terima kasih, Ustadz. Mohon doanya agar saya selalu berada dalam jalan kebaikan dan menjadi wanita shalihah yang bertaqwa. Terima kasih, Ustadz. (Binti Muhammad)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Man Waalah, wa ba’d:
Kepada saudari Binti Muhammad, semoga Allah Ta’ala selalu menjaga Anda dalam kebaikan dan menjadikan Anda sebagai wanita shalihah yang bertaqwa kepada Allah Ta’ala.
Jika Meninggalkan Shalat secara sengaja
Kasus yang saudari tanyakan ini, akan kami rinci yaitu seseorang yang tertinggal shalatnya hingga melewati waktu shalatnya secara sengaja seperti karena  malas, misalnya. Maka para ulama terjadi perbedaan pendapat apakah mesti qadha atau tidak.
Pendapat Pertama, Dia berdosa dan wajib qadha.
            Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Asy Syafi’i. (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 2/10). Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal mengatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat secara sengaja sampai melewati waktunya.[1]
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
أما التارك للصلاة عمدا فمذهب الجمهور أنه يأثم وان القضاء عليه واجب.
Adapun meninggalkan shalat secara sengaja, maka menurut mayoritas ulama adalah dia berdosa dan wajib mengqadha. (Fiqhus Sunnah, 1/274)
Pendapat Kedua. Dia tidak disyariatkan mengqadha tetapi hendaknya bertaubat, banyak istighfar, dan shalat sunah.
            Inilah pendapat Imam Ibnu Taimiyah, Beliau mengatakan:
وتارك الصلاة عمدا لا يشرع له قضاؤها ولا تصح منه، بل يكثر من التطوع
Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja tidaklah disyariatkan baginya untuk mengqadhanya, dan tidak sah pula jika dia melakukannya, tetapi hendaknya dia memperbanyak shalat sunahnya. (Fatawa Al Kubra, 5/320)
            Ini juga difatwakan Imam Ibnu Hazm, Beliau mengatakan:
وأما من تعمد ترك الصلاة حتى خرج وقتها هذا لا يقدر على قضائها أبدافليكثر من فعل الخير وصلاة التطوع ليثقل ميزاته يوم القيامة وليتب وليستغفر الله عزوجل
            Adapun orang yang meninggalkan shalat secara sengaja sampai keluar dari waktunya, maka selamanya tidak bisa diqadha. Namun hendaknya dia memperbanyak amal kebaikan, shalat sunah, dalam rangka memperberat timbangan kebaikannya di Hari Kiamat nanti, dan hendaknya dia bertaubat dan beristighfar kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (Al Muhalla, 1/274-275)
Hujjah mereka  adalah sebagai berikut:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَواتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا (59)
إِلاَّ مَنْ تابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صالِحاً فَأُولئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ شَيْئاً (60)
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.” (QS. Maryam [19]: 59-60)
Ayat lain:
 وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.” (QS. Ali Imran [3]: 135)
Jadi, menurut ayat-ayat ini, solusi dari kemaksiatan adalah bertaubat kepada Allah Ta’ala dan memperbanyak istighfar. Begitupula dalam konteks meninggalkan shalat wajib secara sengaja, ditambah lagi orang tersebut mesti menutupinya dengan memperbanya shalat sunah.
Dalilnya adalah,
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ، فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ، فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ، قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ.
“Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari amal seorang hamba pada Hari Kiamat adalah shalatnya. Jika bagus shalatnya maka dia telah selamat dan beruntung. Jika rusak shalatnya maka dia akan menyesal dan merugi. Jika shalat wajibnya ada kekurangan, maka Allah ‘Azza wa Jalla berkata, ‘Lihatlah pada hamba-Ku shalat sunahnya. Sempurnakanlah kekurangan pada yang wajib itu dengannya.’ Kemudian dihitunglah semua amal perbuatannya dengan seperti itu juga.” (HR. At Tirmdzi (413), katanya: hasan gharib. Abu Daud (864). Ad-Darimi (1395), Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: isnadnya shahih. Ahmad (9494). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 9494) )
Nah, hadits ini menunjukkan bahwa kekurangan pada shalat wajib yang luput dilaksanakan, bisa ditutupi dan disempurnakan oleh shalat sunah.
Imam Abu Muhammad bin Hazm telah membahas masalah ini panjang lebar. Beliau pun menantang pihak yang mewajibkan qadha itu. Atas  dasar apa sehingga dibolehkan menqadha? Siapakah yang mewajibkan qadha itu, syariat atau bukan? Di antara alasan lain yang dikemukakan Beliau adalah bahwa shalat adalah ibadah yang sudah ditentukan waktunya. Jika adanya qadha itu dibenarkan sehingga shalat bisa dilakukan setelah habis waktunya maka  adanya aturan waktu shalat yang spesifik akan menjadi aturan (ketetapan) yang  sia-sia dan tidak ada artinya.
Buat apa adanya aturan waktu pada masing-masing shalat, jika kemudian boleh saja dilakukan di luar waktunya? Beliau juga menyebut bahwa pendapat Beliau ini merupakan pendapat Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, Salman al-Farisi, Ibnu Mas’ud,  Muhammad bin Abu Bakar, Budail Al Uqaili, Muhammad bin Sirin, Mathrab bin Abdullah, dan Umar bin Abdul Aziz. (Al Muhalla, 2/11)
Jika Meninggalkannya Tidak Sengaja
Sedangkan jika luputnya shalat wajib disebabkan ketidaksengajaan, seperti ketiduran atau lupa misalnya, maka para ulama sepakat wajibnya qadha ketika dia sadar dan ingat.
Hal ini sesuai hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini:
أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِيَّ النَّوْمِ تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةَ الْأُخْرَى، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِينَ يَنْتَبِهُ لَهَا
“Sebenarnya bukanlah kategori lalai jika karena tertidur. Lalai adalah bagi orang yang tidak shalat sampai datang waktu shalat lainnya. Barang siapa yang mengalami itu maka shalatlah dia ketika dia sadar”.  (HR. Muslim, 311/681)
Dalam redaksi yang agak berbeda,
لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي الْيَقَظَةِ، فَإِذَا نَسِيَ أَحَدُكُمْ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا، فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Lalai bukanlah pada saat tidur. Lalai adalah ketika sadar. Maka jika salah seorang kalian lupa shalat atau tertidur, maka shalatlah ketika teringat shalat.”(HR. at-Tirmidzi (177), katanya: hasan shahih. Ibnu Majah (698))
Hadits lainnya:
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ
“Barangsiapa yang lupa dari shalatnya maka shalatlah ketika dia mengingatnya, dan tidak ada kafarah (tebusan) kecuali dengan cara itu.”(HR. Muslim, 314/684)
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat karena lupa dan tertidur, hendaknya diqadha dengan shalat juga ketika dia teringat. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menekankan hal itu dengan kata perintah: falyushalliha idza dzakaraha – maka shalatlah ketika teringat shalat.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
 اتفق العلماء على أن قضاء الصلاة واجب على الناسي والنائم
“Mengqadha shalat adalah wajib menurut kesepakatan ulama bagi orang yang lupa dan tertidur.” (Fiqhus Sunnah, 1/274)
Maka, kasus yang dialami saudari penanya, hendaknya shalatlah ketika terbangun dari tidurnya, walau telah melewati waktunya. Jika Shalat Subuh kelewatan karena tertidur, lalu bangun di waktu Dhuha, maka shalatlah Subuh saat itu. Begitu pula jika dia baru bangun di waktu Zhuhur, maka shalat subuhlah ketika dia ingat.
Semua ini sesuai perintah nabi shalatkah ketika teringat. Caranya adalah jika dia shalat sendiri maka Shalat Subuh dahulu, barulah Zhuhurnya, sesuai urutannya. Sedangkan jika berjamaah dengan  orang lain di masjid, maka ikuti shalatnya jamaah dulu (yakni Zhuhur), sebab tidak mungkin dia meminta jamaah untuk Shalat Subuh sebagaimana dirinya sebab jamaah lain tidak mengalami yang dia alami, jika sudah selesai barulah dia Shalat Subuh yang tertinggal itu.
Nabi dan Para Sahabat pernah mengalami
Apa yang dialami saudari penanya juga pernah dialami oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Maka adanya peristiwa serupa yang dialami mereka menjadi panduan buat kita bagaimana menyikapinya. Yang jelas, kasus seperti ini hendaknya tidak menjadi kebiasaan.
Berikut ini kisah yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, kisahnya panjang dan kami kutip sesuai kebutuhan saja sebagai berikut:
‘Imran bin Hushain Radhiallahu ‘Anhu bercerita:
أَنَّهُمْ كَانُوا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَسِيرٍ، فَأَدْلَجُوا لَيْلَتَهُمْ، حَتَّى إِذَا كَانَ وَجْهُ الصُّبْحِ عَرَّسُوا، فَغَلَبَتْهُمْ أَعْيُنُهُمْ حَتَّى ارْتَفَعَتِ الشَّمْسُ، فَكَانَ أَوَّلَ مَنِ اسْتَيْقَظَ مِنْ مَنَامِهِ أَبُو بَكْرٍ، وَكَانَ لاَ يُوقَظُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَنَامِهِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، فَاسْتَيْقَظَ عُمَرُ، فَقَعَدَ أَبُو بَكْرٍ عِنْدَ رَأْسِهِ، فَجَعَلَ يُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ حَتَّى اسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَزَلَ وَصَلَّى بِنَا الغَدَاة  ….
            Mereka bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sebuah perjalanan yang sampai larut malam hingga menjelang Subuh mereka istirahat. Lalu mereka tertidur sampai meninggi matahari. Pertama yang bangun adalah Abu Bakar, Beliau tidak membangunkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai dia bangun sendiri. Lalu bangunlah Umar, lalu Abu Bakar duduk di sisi kepala nabi. Lalu dia bertakbir dengan meninggikan suaranya sampai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terbangun. Lalu beliau keluar dan Shalat Subuh bersama kami.”  (HR. Bukhari (3571), Muslim (312/682))
            Dalam kisah ini, Nabi dan para sahabatnya baru Shalat Subuh ketika matahari sudah meninggi, setelah mereka terbangun dari tidur. Ini menunjukkan bolehnya hal itu, jika disebabkan tertidur yang membuatnya melewati waktu Subuh sebenarnya. Tetapi, sekali lagi, ini bukanlah kebiasaan mereka, tetaplah yang paling utama dan disukai Allah Ta’ala adalah Shalat Subuh tepat pada waktunya.
Tidak Shalat Karena Pingsan
Bagi orang yang pingsan sehingga dia tidak melakukan shalat,  maka sebagian imam, seperti para Sahabat dan Tabi’in  menyatakan tidak  wajib qadha sama sekali. Seperti yang dipegang oleh Ibnu Umar, Thawus bin Kaisan, Az Zuhri, Al Hasan Al Bashri, dan Muhammad bin Sirin.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menyebutkan:
فقد روى عبد الرزاق عن نافع: أن ابن عمر اشتكى مرة غلب فيها على عقله حتى ترك الصلاة ثم أفاق فلم يصل ما ترك من الصلاة.وعن ابن جريج عن ابن طاوس عن أبيه إذا أغمي على المريض ثم عقل لم يعد الصلاة.
قال معمر: سألت الزهري عن المغمى عليه فقال: لا يقضي.وعن حماد بن سلمة عن يونس بن عبيد عن الحسن البصري ومحمد بن سيرين أنهما قالا في المغمى عليه: لا يعيد الصلاة التي أفاق عندها.
Abdurrazzaq meriwayatkan dari Naafi’, bahwa Ibnu Umar suatu saat jatuh sakit hingga  pingsan dan meninggalkan shalat. Lalu ketika dia sadar, dia tidak melakukan shalat yang tertinggal itu.
Dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, bahwa jika ada seorang sakit sampai pingsan lalu dia kembali sadar maka tidak usah baginya mengulangi shalatnya.
Ma’mar berkata: Aku bertanya kepada Az Zuhri tentang orang yang pingsan, Beliau menjawab, “Tidak usah mengqadha.”
Dari Hammad bin Salamah, dari Yunus bin ‘Ubaid dari al-Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin, mereka berdua berkata tentang orang yang pingsan, “Tidak perlu mengulangi shalat yang tertinggal selama pingsan itu.” (Fiqhus Sunnah, 1/274)
Sekian. Wallahu A’lam
Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajma’in
[1]Dalam berbagai hadits shahih, orang yang sengaja meninggalkan shalat disebut kafir. Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
 بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة
“Batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran   adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim (82), at-Tirmidzi (2752), Ibnu Majah (1078), ad-Darimi (1233), Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf (7/222/43), Ibnu Hibban (1453), Musnad Ahmad (15183), tahqiq: Syu’aib Al Arna’uth, Adil Mursyid, dll)
Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir.”(HR. at-Tirmidzi (2621), katanya: hasan shahih gharib, an-Nasa’i (463), Ibnu Majah (1079), Ibnu Hibban (1454), Sunan ad-Daruquthni, Bab At Tasydid fi Tarkish Shalah No. 2, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra (6291), Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf (7/222/45), Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain (11), katanya: “isnadnya shahih dan kami tidak mengetahui adanya cacat dari berbagai jalur. Semuanya telah berhujjah dengan Abdullah bin Buraidah dari ayahnya. Muslim telah berhujjah dengan al-Husein bin Waqid, Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya dengan lafaz ini. Hadits ini memiliki penguat yang shahih sesuai syarat mereka berdua.” Ahmad (22937), Syaikh Syu’aib Al Arna’uth mengatakan: sanadnya qawwy (kuat). Syaikh al-Albani menshahihkan hadits ini dalam berbagai kitabnya)
Imam Al Mundziri Rahimahullah mengatakan:
وقال ابن أبي شيبة قال النبي صلى الله عليه وسلم :من ترك الصلاة فقد كفر
وقال محمد بن نصر المروزي سمعت إسحاق يقول صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة كافر
Berkata Ibnu Abi Syaibah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggalkan shalat maka dia telah kafir.”  Berkata Muhammad bin Nashr Al Marwazi, aku mendengar Ishaq berkata: “Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat, maka dia telah kafir.” (Syaikh al-Albani, Shahih At Targhib wat Tarhib (1/575). Cet. 5, Maktabah Al Ma’arif. Riyadh)
Dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Uqaili Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كان أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم لا يرون شيئا من الأعمال تركه كفر غير الصلاة 
                Para sahabat nabi tidaklah memandang suatu perbuatan yang dapat kufur jika ditinggalkan melainkan meninggalkan shalat.” (HR. at-Tirmidzi (2757), dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi (2622)
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mencatat dalam Al Muhalla-nya:
وَقَدْ جَاءَ عَنْ عُمَرَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَغَيْرِهِمْ مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّ مَنْ تَرَكَ صَلاةَ فَرْضٍ وَاحِدَةٍ مُتَعَمِّدًا حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا فَهُوَ كَافِرٌ مُرْتَدٌّ.
“Telah datang dari Umar, Abdurrahman bin ‘Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah, dan selain mereka dari kalangan sahabat Radhiallahu ‘Anhum, bahwa barangsiapa yang meninggalkan shalat wajib sekali saja secara sengaja hingga keluar dari waktunya, maka dia kafir murtad.”(Al Muhalla, 1/868. Mawqi’ Ruh al-Islam)
Abdullah bin Amr bin Al Ash Radhiallahu ‘Anhuma, mengatakan:
ومن ترك الصلاة فلا دين له.
“Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka tidak ada agama baginya.” (al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5/508) Darul Fikr)
Abu Darda Radhiallahu ‘Anhu berkata:
لا إيمان لمن لا صلاة له ولا صلاة لمن لا وضوء له رواه ابن عبد البر وغيره موقوفا
“Tidak ada iman bagi yang tidak shalat, dan tidak ada shalat bagi yang tidak berwudhu.” Diriwayatkan Ibnu Abdil Bar dan selainnya secara mawquf. (Atsar ini Shahih mawquf. Lihat Syaikh Al Albani, Shahih At Targhib wat Tarhib, 1/575. Maktabah Al Ma’arif)
Imam Al Mundziri Rahimahullah menyebutkan:
وكذلك كان رأي أهل العلم من لدن النبي صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة عمدا من غير عذر حتى يذهب وقتها كافر
                “Demikian pula, dahulu   pendapat ulama dari orang yang dekat dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (yakni para sahabat), bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja tanpa ‘udzur, sampai habis waktunya, maka dia kafir.” (Ibid)

0 Response to "Bangun Kesiangan, Bolehkah Mengqadha Shalat Subuh?"

Posting Komentar